Adapun rukun perkawinan menurut hukum Islam itu ada lima, yang terdiri dari :
1. Calon Isteri
Calon mempelai wanita, yang dalam hal ini isteri tersebut boleh dinikahi dan sah secara syar’i karena tidak ada penyebab-penyebab tertentu yang menjadikan pernikahan terlarang atau dilarang.
2. Calon Suami
Calon mempelai pria yang dalam hal ini harus memenuhi syarat, seperti calon suami bukan termasuk saudara atau mahram isteri, tidak terpaksa artinya atas kemauan sendiri, orangnya tertentu atau jelas, dan tidak sedang ihram haji.
3. Wali
Wali ialah ayah dari mempelai wanita. Mengenai wali bagi calon mempelai wanita ini terbagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab’ad (jauh).Karena perkawinan itu tidak sah tanpa ada izin dari walinya. Hal ini dikarenakan ada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Artinya :
“Telah menceritakan Muhammad bin Katsir, telah mengkabarkan kepada kita sufyan, telah menceritakan kepada kita ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Azzuhri dari Urwah dari Aisyah, Aisyah berkata: Rasulullah telah bersabda “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali).
Menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi apabila seorang wanita tersebut tidak mempunyai wali dan orang yang dapat menjadi hakim maka ada tiga cara:
1) Dia tetap tidak dapat menikahkan dirinya tanpa adanya wali.
2) Ia boleh menikahkan dirinya sendiri karena darurat.
3) Dia menyuruh kepada seorang untuk menjadi wali bagi dirinya, dan
diceritakan dari Imam Asyayis bagi mereka yang tidak ada wali baginya harus mengangkat seorang wali (hakim) yang ahli dan mujtahid.
Imam Syafi’i pernah menyatakan, “Apabila dalam suatu rombongan (dalam perjalanan jauh) ada seorang perempuan yang tidak ada walinya, lalu ia memperwalikan seseorang laki-laki untuk menikahkannya, maka yang demikian itu diperbolehkan. Hal ini dapat disamakan dengan memperwalikan seseorang hakim (penguasa Negara atau pejabat yang mewakilinya) dikala tidak terdapat seorang wali nikah yang sah.”
Demikian pula menurut al-Qurtubi, apabila seorang perempuan berada di suatu tempat yang ada kekuasaan kaum muslim padanya dan tidak ada seorang pun walinya, maka ia dibenarkan menuaskan urusan pernikahannya kepada seorang tokoh atau tetangga yang dipercainya di tempat itu, sehingga dalam keadaan seperti itu ia dapat bertindak sebagai pengganti walinya sendiri.
Hal ini mengingat bahwa perkawinan merupakan sesuatu yang sangat diperlukan, dan karenanya harus dilakukan hal yang terbaik agar dapat terlaksana.
Dan apabila terjadi perpisahan antara wali nasab dengan wanita yang akan dinikahinya, izin wali nasab itu dapat diganti dengan izin wali hakim. Di Indonesia, soal wali hakim ini diatur dalam peraturan menteri Agama nomor 1 tahun 1952 jo nomor 4 tahun 1952. Wali menurut hukum Islam terbagi menjadi dua.
Wali nasab yaitu anggota keluarga laki-laki calon pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita. Wali nasab inidigolongkan menjadi dua yaitu wali mujbir dan wali nasab biasa; wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa dalam bidang perkawinan.
4. Dua orang saksi
Adanya dua orang saksi yang adil, golongan syafi’i mengatakan apabila perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum diketahui adil tidaknya, maka hukum tetap sah. Karena pernikahan itu terjadi di berbagai tempat, di kampung-kampung, daerah-daerah terpencil maupun di kota, bagaimana kita dapat mengetahui orang adil tidaknya, jika diharuskan mengetahui terlebih dahulu tentang adil tidaknya, hal ini akan menyusahkan. Oleh karena itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya saja pada saat itu sehingga ia tidak terlihat fasik. Maka apabila di kemudian hari terjadi sifat fasiknya setelah terjadinya akad nikah maka akad nikah yang terjadi tidak terpengaruh oleh kefasikan saksi. Dalam arti perkawinannya tetap dianggap sah.
Menurut juhur ulama’ perkawinan yang tidak dihdiri oleh para saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah. Karena saksi merupakana syarat sahnya pernikahan, bahwa Imam Syafi’i menyatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun.
Jika para saksi tersebut hadir dan dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan memberitahukan kepada orang lain, maka perkawinannya tetap sah.
Karena dalam kesaksian ini sangat banyak kegunaannya, apabila di kemudian hari ada persengketaan antara suami isteri maka saksi ini bisa dimintai keterangan atau penjelasannya, karena perbedaan sebuah pernikahan dengan yang lain diantaranya adalah:
Seperti yang dijelaskan pada hadis Nabi:
Artinya :
“Telah menceritakan Yusuf bin Hammad al-Mughl al-Bashri, telah menceritakan Abd al-‘Ala dari Said dari Qatadah dari Jabir bin Zaid dari Ibn Abbas, sesungguhya Rasulullah telah bersabda “Pelacur adalah perempuan-perempuan yang mengawinkan tanpa saksi”.
Artinya :
Telah menceritakan Muhammad bin Qadamah bin “Ayun, menceritakan Abu ‘Ubaidah al-Haddad dari Yunus dan Israil dari Abi Ishaq dari Abi Bardah dari Abi Musa, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda “Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali”
Kata tidak di sini maksudnya adalah “tidak sah” yang berarti menunjukkan bahwa mempersaksikan terjadinya ijab kabul merupakan syarat-syarat dalam perkawinan, sebab dengan tidak adanya saksi dalam ijab qabul dinyatakan tidak sah, maka hal itu menjadi syaratnya.
5. Sighat (Ijab Kabul)
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat huidup berkeluarga karena ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala.
Karena itu harus ada pertimbangan yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambangan itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang melaksanakan akad. Pengucapan: sigat (yakni pengucapan “ijab” yang mengandung menyerahkan dari pihak wali si perempuan, dan “qabul” yang mengandung penerimaan dari pihak wali calon suami).
Para ahli fiqh mensyaratkan ucapan ijab qabul itu dengan lafadz fi’il madi (kata kerja yang telah lalu) atau salah satunya dengan fi’il madi dan yang lain fi’il mustaqbal (kata kerja sedang)