Pengertian Kebutuhan Berafiliasi
Menurut J. P. Chaplin (dalam Kartono, 2004: 14) affiliation (berafiliasi, pertalian, gabungan, perhubungan, persatuan) adalah kebutuhan akan pertalian perkawanan dengan orang lain, pembentukan persahabatn ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, bercinta, kerjasama dan kooperasi.
Edwards yang dikutip Ruch (dalam As`ad, 1999: 51), mengartikan berafiliasi sebagai kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, setia terhadap temannya, berpatisipasi dalam kelompoknya, suka menulis surat terhadap teman-temannya, atau langganan-langganannya.
Berafiliasi dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang berkaitan dengan hubungan sosial, apabila seseorang berhasil dalam pemenuhan kebutuhan berafiliasi berarti bisa dikatakan dia berhasil dalam penyesuaian sosial. Seseorang yang berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial akan merasa bahagia, begitu juga sebaliknya kegagalan dalam penyesuaian sosial akan membawa seseorang pada rasa ketidak bahagiaan.
Menurut Mc Clelland (dalam As`ad, 1999: 53) mengartikan kebutuhan berafiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungan dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Sedangkan Murray mengemukakan kebutuhan berafiliasi sebagai rasa ingin mendekati dan menyayangi, kerjasama dengan orang lain, mendapat afeksi orang yang disenangi serta menjadi teman orang lain.
Kebutuhan berafiliasi (need for affiliation), merupakan kebutuhan nyata pada setiap manusia, terlepas dari status, kedudukan, jabatan, maupun pekerjaan yang dimilikinya. Kebutuhan ini pada umumnya tercermin pada keinginan berada pada situasi yang bersahabat dalam interaksi seorang dengan orang lain. Seseorang akan merasa senang, aman, dan berharga ketika dirinya diterima dan memperoleh tempat di dalam kelompok. Sebaliknya, akan merasa cemas, kurang berharga, atau cemas ketika dirinya tidak diterima atau bahkan disisihkan oleh kelompoknya (Ali & Asrori, 2006: 159).
 |
Kebutuhan berafiliasi |
Seseorang yang memiliki kebutuhan berafiliasi mempunyai kemampuan untuk bekerjasama. Mereka melihat orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri, dalam pengertian bahwa dirinya hanya mungkin berkembang bersama dan karena kualitas orang lain disekitarnya. Sebenarnya kemampuan bekerjasama tidak dapat diwujudkan kecuali diawali dengan kemampuan untuk membuka diri dan mengendalikan emosi diri sendiri. Pengendalian diri, tidak saja sangat penting dalam berkomunikasi secara efektif, tetapi juga menjadi persayaratan untuk berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain (Tasmara, 2001: 230-231).
Menurut Murray (dalam Maria team psikologi, 2008: 21) disebutkan bahwa kebutuhan berafiliasi adalah mendekati dan menyayangi kerjasama dengan orang lain, mendapat afeksi orang yang disenangi dan menjadi teman orang lain. Aspek emosi yang berhubungan dengan kebutuhan berafiliasi ini adalah:
a. Cinta
Cinta adalah kasih sayang yang besar sekali, perasaan yang lebih ekstrim dari afeksi.
b. Kepercayaan
Kepercayaan adalah asal kata dari percaya yang artinya menerima sesuatu sebagai kebenaran dan menganutnya, tapi setelah diberi awalan ke dan an maka artinya adalah orang yang dipercayai, sesuatu yang diakui atau diterima kebenarannya.
c. Afeksi
Afeksi adalah suatu tingkat yang luas dari proses mental, termasuk perasaan, emosi, rasa hati dan temperamen. Secara historik affection berasal dari cognition (pengalaman) dan volition (kehendak).
d. Empati
Pencerminan perasaan seseorang dalam suatu peristiwa, obyek yang lazim, atau suatu hasil estetika. Empati juga dapat diartikan kesadaran dan pengertian dari perasaan, kebutuhan dan penderitaan orang lain.
Ciri-Ciri Kebutuhan Berafiliasi
Mc. Clelland (dalam As`ad, 1999: 53-54) menegaskan tingkah laku individu yang didorong oleh kebutuhan untuk bersahabat (berafiliasi) yang tinggi akan nampak dalam tindakan berikut:
a. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugas yang ada pada pekerjaan itu.
b. Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama bersama orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif.
c. Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
d. Lebih suka dengan orang lain daripada sendirian.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Berafiliasi
Martinah (1999: 33-36), mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan berafiliasi sebagai berikut:
a. Kebudayaan
Kebutuhan berafiliasi sebagai kebutuhan sosial juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan, nilai-nilai yang berlaku pada suatu tempat ataupun kebiasaan-kebiasaan. Dalam masyarakat yang menilai tinggi kebutuhan berafiliasi, akan mengakibatkan perkembangan dan pelestarian kebutuhan tersebut, sebaliknya jika kebutuhan tersebut tidak dinilai tinggi, itu akan menipis dan tidak akan tumbuh subur.
b. Situasi yang Bersifat Psikologik
Festinger mengatakan bahwa jika seseorang tidak yakin akan kemampuannya atau tidak yakin pendapatnya, ia akan merasa tertekan, rasa tertekan ini akan berkurang jika dilakukan perbandingan sosial. Kesempatan untuk meningkatkan diri melalui perbandingan dengan orang akan meningkatkan berafiliasi dan jika orang tersebut dalam perbandingan ini merasa lebih baik, ini akan lebih menguatkan sehingga menghasilkan berafiliasi yang lebih besar.
c. Perasaan dan Kesamaan
McGhee dan Teevan mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai kebutuhan akan berafiliasi yang tinggi lebih suka menyeragamkan diri daripada yang mempunyai kebutuhan berafiliasi yang rendah. Pengaruh faktor-faktor persamaan dan kesamaan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kesamaan pendidikan, kesamaan status, kesamaan kelompok etnik lebih tertarik satu sama lain dan sering membentuk kelompok-kelompok diharapkan dapat memunculkan rasa percaya diri pada setiap individu yang didukung dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh manusia serta keyakinan oleh penciptaan Allah SWT bahwa manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan, maka diharapkan setiap individu akan dapat tumbuh rasa percaya dirinya.
 |
Kerangka konsep hubungan percaya diri dan afiliasi |
Hubungan Rasa Percaya Diri dengan Kebutuhan Berafiliasi
Menurut Lauster (1994: 4) rasa percaya diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga dalam tindakannya tidak terlalu cemas dan merasa bebas untuk melakukan hal-hal sesuai keinginannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Lauster juga menggambarkan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri memiliki ciri-ciri tidak mementingkan diri sendiri (toleransi), selalu optimis dan gembira.
Implikasi dari sikap percaya diri adalah penilaian positif individu terhadap diri sendiri dan lingkungannya serta menumbuhkan kebutuhan akan berafiliasi pada situasi yang dihadapi (Rini, 2002: 17). Berafiliasi adalah kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain, setia terhadap teman dan berpatisipasi dalam kelompoknya (As`ad, 1999 : 51). Jadi secara substansi hubungan rasa percaya diri mendorong dan memfasilitasi munculnya sikap berafiliasi secara sempurna terhadap orang lain.
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial dan memiliki dorongan untuk senantiasa berinteraksi secara komunal dengan lingkungannya. Sehingga manusia diharapkan dapat menjalin hubungan yang baik antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dimensi lain, memang secara kodrati kebutuhan berafiliasi pada individu sudah terfasilitasi pada tingkat kebutuhan akan kasih sayang, dicintai-mencintai dan kebutuhan akan harga diri. Sedangkan fungsi percaya diri adalah pembalut dorongan (drive) untuk menjadi sempurna pada tempatnya.
Dalam lingkup pendidikan, dunia siswa memang sarat akan proses belajar dan memfasilitasi optimalisasi segenap potensi, minat dan bakat dalam proses tumbuh kembangnya. Menghendaki semua kebutuhan berafiliasi terpenuhi secara wajar dan kadar pengembangan diri secara maksimal. Jika kebutuhan berafiliasi terpenuhi secara baik, maka akan tercipta rasa gembira, senang dan siswa mampu menghadapi proses belajar dan perkembangannya secara baik. Kenyataannya akan menjadi hambatan apabila siswa mengalami konflik kehilangan rasa percaya diri dan tidak terpenuhinya kebutuhan berafiliasi.