Husserl adalah pendiri dan tokoh utama dan aliran filsafat fenomenologi. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam sejarah fenomenologi, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Fra nz Brentano, terutama pemikirannya tentang “kesengajaan”. Bagi Husserl fenomenologi adalah ilmu yang fundamental dalam berfilsafat. Fenomenologi adalah ilmu tentang hakikat dan bersifat apriori. Dengan demikian, makna fenomena menurut Husserl berbeda dengan makna fenomena menurut Immanuel Kant.
Jika Kant mengatakan bahwa subjek hanya mengenal fenomena bukan noumena, maka bagi Husserl fenomena mencakup noumena (pengembangan dan pemikiran Kant). 28 Bila dibandingkan dengan konsep kesadaran dari Descartes yang bersifat tertutup, kesadaran menurut Husserl lebih bersifat terbuka. Husserl juga menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena budaya dari sejarah. Namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel, serta menjadikannya sebagai dasar perkembangan semua tipe fenomenologi. Fenomena pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran manusia.
Dalam Logical investigations (1900), Husserl menggarisbawahi sebuah sistem yang kompleks dari filsafat. Sistem tersebut bergerak dari logik a ke filsafat bahasa baru kemudian ke ranah ontologi. Pembahasannya tidak berhenti sampai di sini, dari ontologi bergerak ke “kesengajaan” dan berakhir di fenomenologi pengetahuan. Barulah di Ideas I (1913), Husserl mengkhususkan pembahasannya pada fenomenologi, yang definisikannya sebagai ilmu mengenai pokok-pokok kesadaran (the science of the essence of consciousness). Selain mengemukakan definisi fenomenologi, Husserl banyak membahas mengenai ciri-ciri kesadaran dari orang pertama.
Sampai saat ini, kita dapat mengartikan fenomenologi sebagai studi tentang kesadaran dari beragam pengalaman yang ada di dalamnya. Menurut Husserl, dengan fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita mengalaminya sendiri. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap tindakan sadar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap tindakan di masa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek yang terkait dengannya. Semuanya itu bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannya.
|
Fenomenologi |
Oleh karena itu tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang makna, di mana makna itu lebih luas dari hanya sekedar bahasa yang mewakilinya. Dalam Ideas I, Husserl merepresentasikan fenomenologi sebagai belokan transedental. Ia menentang metode “Transcendental Idealism” dan Kant, untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dari kondisi “kesadaran dan pengetahuan”, selain juga untuk mencari realitas di balik fenomena. Pencarian ini mengantarkannya pada metode epoché (dan bahasa Yunani yang berarti menjauh dan percaya). Husserl berpendapat bahwa ilmu positif memerlukan pendamping pendekatan filsafat fenomenologis. Pemahamannya diawali dengan ajakan kembali pada sumber atau realitas yang sesungguhnya. Untuk itu perlu langkah-langkah metodis “reduksi” atau menempatkan fenomena dalam keranjang (bracketing) atau tanda kurung. Melalui reduksi, terjadi penundaan upaya menyimpulkan sesuatu dari setiap prasangka terhadap reali tas. Adapun langkah Iangkah metodis yang dimaksud adalah Reduksi Eidetis, Reduksi Fenomenologi, dan Reduksi Transedental. Dengan menempatkan fenomena dalam tanda kurung, berarti kita menempatkan perhatian kita dalam struktur pengalaman sadar. Kata kuncinya adalah membedakan apakah kesadaran itu bagian dari kesengajaan, ataukah karena terhubung langsung dengan sesuatu. Misalnya kesadaran kita akan sebatang pohon, dengan menempatkan pohon dalam tanda kurung, maka perhatian kita tidak harus kepada pohon secara fisik, namun bisa pada pohon dari makna pohon yang ada dalam struktur pengalaman kita.
Inilah yang oleh Husserl dinamakan dengan pengertian Noema dan Noematic dari pengalaman. Melalui reduksi transedental, Husserl menemukan adanya esensi kesadaran yang disebut intensionalitas. Setiap aktivitas intensionalitas (neotic) termasuk aktivitas menyadari sesuatu. Pengertian kesadaran selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang disadari. Yang paling penting dalam reduksi ini, bukan terletak pada persoalan menempatkan penampakan fenomena dalam tanda kurung, melainkan pada bagaimana subjek memberikan interpretasi terhadap objek selanjutnya.
Pengamatan Husserl mengenai struktur intensionalitas kesadaran, merumuskan adanya empat aktivitas yang inheren dalam kesadaran, yaitu (I) objektifikasi, (2) identifikasi, (3) korelasi, dan (4) konstitusi. Penyelidikan Husserl selanjutnya berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati. Adapun struktur-strukturnya hanya dapat diamati dengan cara melepaskan diri dariprasangka-prasangka teoretis yang berasal dan latar belakang keilmuan yang telah dimiliki sebelumnya. Setiap subjek transedental mengkonstitusikan dunianya sendiri, menurut perspektifnya sendiri yang unik dan khas. Dunia tidak dipahami sebagai dunia objektif dalam pengertian fisik material, tetapi dunia sebagaimana dihayati oleh subjek sebagai pribadi. Dengan demikian dalam pandangan fenomenologi, dunia itu subjektif dan relatif. Tugas fenomenologilah untuk menggali dunia yang dihayati tersebut, sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai asumsi ilmu pengetahuan.
Fenomenologi Husserl pada prinsipnya bercorak idealistik, karena menyerukan untuk kembali kepada sumber asli pada diri subjek dan kesadaran. Ilmu komunikasi (komunikologi) akan me ndapatkan landasan yang kokoh jika asumsi-asumsi ontologi dan epistemologinya didasarkan pada pengetahuan tentang esensi kesadaran. Konsepsi Husserl tentang “aku transedental” dipaharni sebagai subjek absolut, yang seluruh aktivitasnya adalah menciptakan dunia. Namun Husserl tidak menjelaskan bahwa dalam kehidupan yang sesungguhnya, subjek atau kesadaran itu selain mengkonstitusikan dunia, juga dikonstruksikan oleh dunia.
Adapun pokok-pokok pikinan Husserl mengenai fenomenologi, adalah sebagai berikut ini: 1. Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak. 2. Tidak ada batas antara subjek dengan realitas. 3. Kesadaran bersifat intensional. 4. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dengan objek yang disadari (noema). Fenomenologi Husserl ini mempengaruhi filsafat kontemporer secara mendalam, terutama sekitar tahun 1950-an. Tokoh-tokoh seperti yang telah disebutkan sebelumnya (Heidegger, Sartre, Scheler, Marleu-Ponty, dan Paul Ricoeur), menggunakan fenomenologi untuk memahami realitas. Namun tidak sedikit juga yang memperdebatkan pemikiran-pemikiran dari Husserl ini. Termasuk murid pertamanya Adolf Reinach, yang memperdebatkan apakah fenomenologi harus berhubungan dengan realist ontology, ataukah tidak. Roman Ingarden, seorang tokoh fenomenologi yang menonjol setelah Husserl, melanjutkan penentangan Husserl terhadap transcendental idealismnya Kant. Walau demikian, ambisi Husserl menjadikan fenomenologi sebagai cabang filsafat yang mampu melukiskan seluk beluk pengalaman manusia.
ADS HERE !!!