Koperasi didirikan untuk memberikan solusi atas keresahan masyarakat kalangan bawah yang ingin mengembangkan usahanya, akan tetapi, memiliki keterbatasan modal. Namun koperasi yang didirikan saat itu masih menerapkan sistem riba atau bunga atau dapat disebut koperasi konvensional, sehingga kemudian muncul gagasan pendirian koperasi berbasis syariah. Hal ini memberikan sinyal bahwa terbentuk koperasi syariah tidak dapat terlepas dari sejarah berdirinya koperasi konvensional.
Raden Ngabei Ariawiriaatmadja, seorang Patih Purwokerto, bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah lembaga keuangan yang disebut bank priyayi pada tanggal 16 Desember 1895. Lembaga yang disebut juga Bank Simpan Pinjam ini didirikan untuk menolong para pegawai negeri pribumi untuk melepaskan diri dari jeratan para pelepas uang (rentenir).
Pada tahun 1886, De Wolf van Westerrode mendirikan “De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredit Bank”. Lembaga yang didirikan oleh De Wolf adalah lembaga sejenis koperasi yang ditujukan sebagai tempat simpan pinjam bagi para petani dalam bentuk in-natura (simpan padi, pinjam uang). Ini dikarenakan uang tunai masih sangat langka pada masa itu.
Kedua lembaga tersebut di atas dikenal sebagai cikal bakal berdirinya koperasi di Indonesia. Namun, Indonesia baru mengenal undang-undang perkoperasian pada tahun 1915 dengan diterbitkannya “Verodening op de Cooperative Vereninging”, Kononklijk Besluit 7 April 1915, Indisch Staatsblad Nomor 431.
Setelah mengalami berbagai macam proses pengamatan, pada tanggal 12 Juli 1947 diadakan Kongres Gerakan Koperasi se-Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan tiga poin penting, yaitu:
1. Terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI);
2. Menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi;
3. Menganjurkan diadakannya pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat.
Sedangkan koperasi syariah di Indonesia diprakarsai oleh paguyuban dagang yang dikenal dengan SDI (Serikat Dagang Islam) yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo, Jawa Tengah, pada tahun 1913. SDI ini dijalankan dengan menghimpun para anggotanya dari pedagang batik yang beragama Islam. Serikat dagang ini tidak bertahan lama karena kemudian terjadi pergeseran ideologi yaitu berubahnya serikat ini menjadi pergerakan bernuansa politik. Sekitar tahun 1990, koperasi syariah mulai muncul (lagi) di Indonesia, lebih tepatnya pasca reformasi.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu jenis koperasi yang ditinjau dari jenis usaha dan/atau fungsinya adalah koperasi jasa. Salah satu contoh dari koperasi jasa yang ada di Indonesia adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS).
Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) merupakan lembaga keuangan yang berbadan hukum koperasi dan sistem operasionalnya mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi syariah. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bahwa koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah dan ketentuan-ketentuan lainnya yang lebih rinci diatur dalam Peraturan Pemerintahan.
Koperasi syariah adalah usaha ekonomi yang terorganisir secara mantap, demokratif, otonom parsitifatif dan berwatak sosial yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip yang mengusung etika moral dan berusaha dengan memperhatikan halal atau haramnya sebuah usaha yang dijalankan sebagaimana diajarkan dalam Islam.
Keberadaan koperasi, baik syariah maupun konvensional, tentunya sangat positif di tengah kegiatan perekonomian masyarakat. Misalnya keberadaan koperasi simpan pinjam yang lebih dekat dengan masyarakat menengah ke bawah, diharapkan dapat mengurangi space atau kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Perkembangan koperasi dari masa ke masa diharapkan juga dapat meningkatkan pengaruh positif dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
ADS HERE !!!