Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi. bahkan dapat di katakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajahan Belanda ini, sebagai pengontrol independen terhadap gejala yang dibuat oleh pemerintah dan penguasa, pemuda Indonesia juga secara aktif melakukan kritik, hingga mengganti pemerintahan apabila pemerintahan tersebut tidak lagi berpihak ke masyarakat. hal ini dapat di lihat pada kasus jatuhnya pemerintahan soekarno oleh gerakan pemuda , yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa pemuda tahun 1966. hal yang sama juga di lakukan oleh pemuda dalam menumbangkan pemerintahan soeharto 32 tahun kemudian. peran yang di sandang pemuda Indonesia sebagai agen perubahan dan agen kontrol social hingga saat ini masih sangat efektif dalam memposisikan peran pemuda Indonesia. Makalah ini akan menguraikan perihal peran dan tanggung jawab pemuda Indonesia dalam komitmennya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta sikap, komitmen, dan keberpihakan pemuda Indonesia kepada masyarakat.
a. Pergerakan Nasional
Seperti yang dikatakan oleh Feith, bahwa benih-benih nasionalisme tumbuh seiring dengan dibuatkannya kebijakan-kebijakan politik etis yang merupakan bentuk dari politik balas budi pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia ketika itu. Akibat dari kebijakan tersebut maka benih nasionalisme yang tumbuh karena interaksi dengan dunia luar serta pembelajaran yang dilakukan oleh segenap pemuda ketika itu. Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain menjadi bagan yang tak terpisahkan dari upaya rakyat Indonesia ketika itu untuk lepas dari belenggu penjajahan. Soetomo kemudian mendirikan Budi Utomo, sebuah organisasi dengan corak modern didirikan sebagai upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat di pedalaman Jawa. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan yang sangat jelas; mencapai Indonesia Merdeka, sementara Sjahrir dan Hatta melanjutkan perjuangan PNI setelah Soekarno masuk ke tahanan pemerintah kolonial. Sedangkan Natsir bersma-sama tokoh pergerakan nasional yang berbasis Islam lainnya bersatu dan mendorong munculnya organisasi-organisasi Islam yang bertujuan untuk kesejahteraan umat. Dari Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyah, Perti, dan lain-lain yang di masa penjajahan Jepang bersama-sama mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang kelak akan menjadi partai Islam terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia, karena merupakan representasi politik dari organisasi Islam di Indonesia.
Ada lima karakteristik kepemimpinan periode pergerakan nasional ini, yaitu: pertama, kepemimpinan pemuda masa pergerakan nasional selalu diliputi keinginan untuk mewujudkan Indonesia merdeka, lepas dari segala penjajahan dan kolonialisme. Kedua, kepemimpinan kaum muda masa pergerakan nasional selalu bereksperimen dengan berbagai ideologi yang berkembang saat itu. Sebagaimana diketahui bersama, saat pergerakan nasional berlangsung, ideologi masuk ke Indonesia seperti aliran arus sungai yang mempengaruhi pola pikir kaum muda saat itu, baik yang berideologi reformis Islam seperti Natsir, nasionalisme keindonesiaan sebagaimana Soekarno tegaskan dalam setiap kesempatan ketika itu, komunisme yang dianut oleh Semaun, Alimin, Tan Malaka, Amir Sarifuddin, dan lainnya, ataupun sosialisme yang dianut oleh Hatta dan Sjahrir.
 |
Indonesia |
Ketiga, kepemimpinan kaum muda era pergerakan nasional juga lebih banyak menampilkan watak radikalisme dari pada sikap kooperatif. Hal ini ditandai dengan ditangkapnya beberapa tokoh pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Keempat, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu menampilkan wajah kooperatif dengan pelbagai perbedaan ideology, apabila memiliki tujuan yang sama; kemerdekaan Indonesia. Sikap kooperatif terhadap organisasi yang berbeda ideologi ini merupakan bentuk dari penggalangan kekuatan untuk kemerdekaan Indonesia. Dan yang kelima, kepemimpinan kaum muda jaman pergerakan nasional juga selalu memiliki cetak biru (blue print) Indonesia masa depan. Terlepas apakah cetak biru tentang Indonesia yang dicita-citakan berlandaskan kepada keyakinan ideologi yang dianutnya.
b. Revolusi Kemerdekaan
Kedatangan Jepang ke Indonesia memecah sebagian besar kaum muda Indonesia ketika itu, sebab sebagian besar pemuda di masa itu sangat percaya bahwa Jepang merupakan pahlawan yang akan membebaskan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda. Ada tiga kelompok pemuda setelah Jepang menjajah Indonesia. Pertama, kelompok pemuda yang percaya dengan ramalan Jayabaya, seorang raja Jawa kuno yang meramalkan akan datang ras- kuning yang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan kulit putih. Kelompok pemuda ini banyak yang bekerja dan menjadi pegawai di perusahaan dan jawatan yang dikuasai oleh Jepang seperti radio, kantor berita, dan lain-lain. Tokoh-tokoh pemuda yang terkemuka dari kelompok pemuda ini adalah: Adam Malik (pernah menjadi menteri luar negeri dan wakil presiden RI), Soekarni, A.M. Hanafi, Sayuti Melik, Chaerul Saleh, dan sebagainya.
Kedua, kelompok pemuda yang memilih tidak bekerja sama dengan Jepang, maupun pemerintahan Belanda di pengasingan. Kelompok pemuda ini banyak berasal dari mahasiswa kedokteran masa itu, kelompok ini juga banyak melakukan kerja-kerja bawah tanah bersama Sjahrir. Tokoh-tokoh pemuda terkemuka dari kelompok pemuda ini antara lain; Subadio Sastrosutomo, Daud Jusuf, Sumitro Joyohadikusumo, dan lain-lain. Ketiga, kelompok pemuda yang memilih menjalin hubungan dengan pemerintah Belanda di pengasingan, dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang. Kelompok ini juga disubsidi oleh pemerintah Belanda di pengasingan. Tokoh pemuda yang terkenal dari kelompok ini adalah Amir Sjarifuddin dan kelompok pemuda komunis binaannya.
c. Masa Pemerintahan Soekarno
Karakteristik dari kepemimpinan pemuda Indonesia masa Pemerintahan Soekarno adalah menginduk kepada partai-partai politik yang tumbuh subur ketika itu. Banyak dari pemuda ketika itu percaya bahwa dengan menginduk ke partai politik tertentu maka upaya untuk membangun basis kepemimpinan pemuda saat itu akan dengan sendirinya berjalan. Hampir semua partai besar seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga partai-partai kecil memiliki organ kepemudaan yang berafiliasi ke partai bersangkutan. Namun langkah tersebut dirasakan oleh para pemuda kurang strategis, ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin, dimana figur Soekarno menjadi simbol tunggal negara. Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemuda ketika itu adalah melakukan pengkritisan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya. Akan tetapi, sebagaimana diketahui bersama bahwa langkah melakukan pengkritisan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Soekarno maupun anggota kabinetnya berujung pada konflik pemuda ketika itu, sebagian memilih berada di samping Soekarno, sebagian lain memilih berhadap-hadapan dengan Soekarno. Konflik antar organisasi pemudapun pecah, bahkan telah mengarah kepada kriminalisme. Upaya untuk saling menjelek-jelekkan antar organisasi terjadi secara sistematis. Pemuda Rakyat, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Barisan Pendukung Soekarno (BPS), berlawanan dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), serta organisasi pemuda partai yang tidak mendukung kepemimpinan Soekarno seperti Pemuda Perti, Pemuda Persis, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, dan lain sebagainya.
Situasi ini berakhir dengan tumbangnya Pemerintahan Soekarno oleh kekuatan unjuk rasa pemuda dan mahasiswa, serta tekanan militer. Perlu diketahui juga bahwa kelompok pemuda yang anti-Soekarno mendapat dukungan dari militer yang memang sejak lama tidak menyukai kebijakan Soekarno yang condong dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana Soekarno juga menolak pembubaran PKI pasca pemberontakan 30 September 1965 yang memakan korban sejumlah Jenderal dari kalangan militer.
d. Masa Pemerintahan Soeharto
Dapat dikatakan bahwa masa Pemerintahan Soeharto, kaum muda mengalami bulan madu politik yang singkat. Perbedaan ideologi di tubuh organisasi pemuda yang selama Pemerintahan Soekarno dibiarkan tumbuh seirama dengan perkembangan bangsa, mulai dibatasi. Hal ini memang terkait dengan adanya penyederhanaan partai yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto. Pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai organisasi payung bagi organisasi kepemudaan yang ada menjadi salah satu bentuk pengekangan dan pembatasan hak-hak politik pemuda dan organisasi lainnya. Salah satu yang paling kentara adalah adanya konflik internal di masing-masing organisasi pemuda, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) terbelah menjadi dua organisasi, yakni HMI yang setuju dengan ideologi Pancasila yang dipaksakan oleh Pemerintah Soeharto, dengan HMI Majelis Penyalamatan Organisasi (HMI-MPO) yang masih mempertahankan Islam sebagai asas organisasi. Organisasi lain yang juga mengalami perpecahan adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), yang pro kepada keputusan Pemerintahan Soeharto dengan yang menolak keputusan tersebut. Organisasi-organisasi pemuda yang menolak kebijakan Soeharto, kemudian dicap sebagai organisasi pemuda yang tidak bersih dan bukan tidak mungkin diberi cap komunis.
Keputusan untuk me-nonideologi-kan senua organisasi pemuda ini kemudian menghasilkan perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Soeharto kala itu.. Ada tiga karakteristik organisasi pemuda pasca pembentukan KNPI. Pertama, organisasi pemuda yang menerima kebijakan yang dibuat dalam menyatukan ideologi, yakni ideologi Pancasila terhadap semua organisasi kepemudaan.
Organisasi tersebut antara lain: HMI, GMNI, PMII, PMKRI, GMKI, dan berbagai organisasi pemuda yang loyal terhadap kebijakan pemerintahan. Kedua, organisasi pemuda yang berbasis di kampus. Organisasi pemuda ini mampu bersembunyi dibalik organisasi kemahasiswaan yang formal. Organisasi kampus ini justru dalam kurun waktu 32 tahun Pemerintahan Soeharto banyak melakukan perlawanan dan penolakan terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru tersebut. Tercatat berbagai peristiwa politik yang dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan oposisi terhadap kebijakan yang dibuat oleh Soeharto, seperti: Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974 yang menyebabkan kerusuhan dan sentimen anti produk Jepang. Peristiwa tahun 1978, yakni serbuan aparat militer dan kepolisian terhadap kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya. Serta yang terakhir, ketika ribuan massa dari berbagai kampus menduduki gedung DPR/MPR serta simbol kenegaraan lainnya di berbagai kota, yang mengakibatkan Presiden Soeharto, yang berkuasa lebih dari 32 tahun itu mengundurkan diri dari kursi kepresidenan.
e. Masa Kepemimpinan Orde Reformasi
Tumbangnya kekuasaan Presiden Suharto pada tahun 1998, merupakan satu titik balik proses keterbukaan politik di Indonesia. Presiden Habibie yang melanjutkan kepemimpinan mantan Presiden Suharto hingga Pemilihan Umum tahun 1999 melakukan satu perubahan drastis dalam sistem politik di Indonesia. Pemilihan Umum di tahun 1999 melahirkan pemimpin-pemimpin politik baru dalam tubuh Parlemen dan sistem kepartaian di Indonesia, dan melahirkan Presiden baru dari kalangan tokoh Islam yakni Abdurrahman Wahid.
Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tidak bertahan lama. Euphoria reformasi yang diikuti oleh konflik politik antara Parlemen dengan Eksekutif melahirkan proses impeachment terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Ia kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, Wakil Presiden Republik Indonesia yang berasal dari kalangan nasionalis.
Pada era reformasi ini, kehidupan berorganisasi dibebaskan oleh pemerintah. Lembaga SIUPP yang selama ini menjadi alat kontrol bagi media massa di Indonesia dihapus oleh pemerintah, dwifungsi ABRI yang selama ini menjadi legitimasi bagi faksi tentara untuk berpolitik juga dihapuskan, Partai-partai politik dibebaskan untuk memilih ideologi kepartaiannya, dan dibangunnya sistem pemerintahan desentralisasi yang membuka akses politik masyarakat jauh lebih besar untuk terlibat dan mengawasi kinerja pemerintahan di daerahnya.
Reformasi ini juga menyentuh beragam kelompok kepemudaan yang menyadari perlunya perubahan sistem organisasi mereka. Organisasi-organisasi kepemudaan yang selama ini berada dibawah payung KNPI mulai memisahkan diri dan menjalankan gerak organisasinya sesuai dengan ideologi yang diinginkan. HMI kembali menggunakan Islam sebagai azas organisasi, GMNI kembali menggunakan azas nasionalisme-marhaen, dan lain sebagainya. Beberapa organisasi kepemudaan tetap mempertahankan ideologi Pancasila, akan tetapi aura perubahan keras kali ini menghadapkan organ-organ ini pada kondisi sosial politik riil yang juga dihadapi oleh beragam kelompok di masyarakat.
Hiruk pikuk dunia politik yang baru menikmati kebebasannya di Indonesia tidak serta merta memberikan suatu perbaikan sistem pemerintahan yang bersih dan berpihak kepada perubahan yang didesakkan pada tahun 1998. Pertarungan politik antara Pimpinan Legislatif dengan Eksekutif yang telah menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid dari kursi kekuasaannya di tahun 2001 menunjukkan bahwa para pemimpin Order Reformasi ini tidak memiliki satu kedewasaan politik dalam melakukan perubahan politik di Indonesia.
Partai-partai politik dengan beragam ideologinya sepanjang lima tahun terakhir ini harus diakui telah gagal memberikan satu contoh bahwa perbedaan ideologi dapat mendewasakan pola berpikir para pemimpin bangsa. Pertikaian politik berkepanjangan yang mengesampingkan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, merupakan satu agenda utama yang kini menjadi dasar bergeraknya beragam organisasi pemuda di Indonesia saat ini. Mereka melancarkan kecaman dan kritik untuk memperingatkan para pemimpin Indonesia, bahwa ada hal utama yang telah terlupakan akibat perilaku politik mereka.
Disamping itu, kiprah pemuda dalam era reformasi ini juga ditekankan pada pengawalan proses perubahan sistem politik Indonesia agar tidak jatuh kembali ke dalam rejim otoriter. Pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan membangun kedewasaan berpolitik masyarakat agar mereka dapat bertindak sebagai pengawas dan pengontrol kebijakan pemerintah. Pemuda tidak dapat bergerak sendirian mengawal perubahan politik di Indonesia karena mereka nantinya dapat terjerumus ke dalam jebakan politik. Dalam sistem politik liberal multipartai di Indonesia saat ini, tidak dikenal istilah kawan atau lawan politik abadi. Elite politik di Indonesia memiliki kecenderungan untuk berusaha memenuhi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.
Peran pemuda sangat berpengaruh dalam kesatuan RI dengan semangat yang tinggi mereka berusaha mempersatukan negara RI bahkan dapat di katakan bahwa pemuda menjadi tulang punggung dari keutuhan perjuangan melawan penjajah belanda dan jepang.