Salah satu aspek terpenting dalam gender adalah hubungan antara gender dan struktur sosial. Pengaruh struktur sosial dapat dilihat dalam budaya suatu masyarakat. Dalam lintasan sejarah ,secara struktur sosial perempuan ditempatkan di dalam posisi minoritas.
1. Peran Gender dan Status Sosial
Maksud dari peran gender adalah ide-ide kultural yang menentukan harapan-harapan keapada laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi sosial dalam masyarakat. Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai symbol status. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik kejantanan (masculinity), sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik kewanitaan (feminity). Perempuan dipersepsikan sebagai manusia cantik, langsing dan lembut. Sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar dan agresif.
Peran gender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Penyebab terjadinya ketimpangan status antara laki-laki dan perempuan lebih dari sekadar perbedaan fisik-biologis tetapi segenap nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat yang turut berperan.
Realitas sehari-hari telah sering memperlihatkan konflik dan ketegangan jender antara laki-laki dan perempuan. Menurut Nasaruddin Umar, perempuan tetap memiliki keinginan untuk bergerak secara leluasa guna meningkatkan status dan rasa percaya diri tetapi terbentur dengan budaya dalam masyarakat yang membatasi keinginan perempuan, lebih-lebih ketika perempuan sudah kawin dan punya anak. Mereka akan menanggung beban ganda (double burden). Di satu sisi mereka harus bekerja sendiri, tetapi di sisi lain mereka juga harus konsisten dalam mengasuh anak mengurus keluarganya. Sedangkan laki-laki lebih leluasa melakukan berbagai kegiatan produktif, selain karena mereka bebas dari fungsi-fungsi refproduktif, budaya masyarakat juga menuntut laki-laki untuk berperan lebih besar di sektor non-keluarga ( non family role obligations).
2. Ketentuan Pembagian secara Seksual
Sepanjang lintasan sejarah, hampir semua kelompok masyarakat menggunakan jenis kelamin sebagai kriteria penting dalam pembagain kerja. Mereka membagi peran, tugas dan kerja berdasarkan jenis kelamin, meskipun sebagian di antaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan
oleh kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
Secara umum, pekerjaan untuk laki-laki adalah segala sesuatu yang ada di luar rumah dan berisiko tinggi. Hal itu karena disesuaikan dengan adanya anggapan bahwa secara bilogis dan psikologis laki-laki mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sedangkan perempuan dianggap lebih lemah dan hanya pantas melakukan pekerjaan yang berisiko rendah.
Menurut penelitain Michelle Rosaldo dan Loise Lamphere sebagiamana yang telah dikutip oleh Nasaruudin Umar, dikatakan bahwa pembagian kerja secara seksual berdasarkan cirri-ciri universal dalam berbagai kelompok budaya sebagaiu berikut:
a. Masyarakat Pemburu dan Peramu
Pada umumnya peran sosial ekonomi dalam masyarakat primitif terpola kepada dua bagian, yaitu pemburu untuk kaum laki-laki dan peramu untuk kaum perempuan. Walupun kadang-kadang perempuan juga berpartisipasi dalam pemburuan binatang-binatang kecil. Pemburuan binatang-bnatang besar dan hewan liar merupakan tugas utama laki-laki.
Dalam masyarakat seperti ini kaum laki-laki memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh pengakuan dan prestise. Besar kecilnya hasil buruan yang diperoleh laki-laki akan menentukan kekuasaan yang diperolehnya, dan sebalikya, semakin kecil hasil buruan yang diperoleh semakin kecil pula kontrol laki-laki kepada perempuan.
b. Masyarakat Holtikultura
Masyarakat ini mengandalkan usaha perkebunan (holtikultura). Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin pada kelompok masyarakat ini tidak terlalu tampak. Hal itu dikarenakan adanya angggapan bahwa perempuan juga mampu melakukan tugas perkebunan.
Jika dibandingkan dengan kelompok masyrakat berburu dan meramu, kelompok ini lebih member peluang kepada perempuan untuk berkembang dan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi dan secara umum pola relasi jender dalam masyarakat ini dapat dikatakan seimbang. Namun dalam ranah politik, laki-laki tetap lebih mendominasi.
c. Masyarakat Agraris
Adanya peralihan masyarakan ke masyarakat petani (agraris) berimplikasi pada perubahan sosial yang sangat penting, khususnya dalam bidang relasi gender. Pola relasi gender dalam masyarakat ini ditandai
dengan adanya masyarakat patriarki yaitu memberikan peranan yang lebih besar kepada laki-laki dan perempuan disisihkan serta dibatasi di dalam berbagai hal, seperti dilarang memiliki hak milik, hak politik ,mengerjar tingkat pendidikan dan lain-lain. Hal ini terjadi karena perempuan dianggap lebih lebih lemah secara fisik dan kecerdasan dibanding dengan laki-laki.
d. Masyarakat Industri
Dalam masyarakat industri, kaum perempuan diupayakan terlibat di dalam kegiatan perekonomian, namun masih banyak warisan pola agraris yang dipertahankan di dalamnya. Pada masyarakat ini pembagian kerja secara seksual cenderung dipertahankan. Masyarakat industri ini mengacu pada orientasi produktif ( productivity oriented ). Perempuan masih dianggap second class karena fungsi reproduksinya mereduksi fungsi produktivitasnya. Pola relasi jender dalam masyarakat ini masih
berlangsung tidak seimbang dan posisi perempuan tetap lemah dibanding dengan laki-laki.
ADS HERE !!!